Dalam lakon wayang Purwa,
kisah Ramayana bagian awal diceritakan asal muasal keberadaan Dasamuka atau
Rahwana tokoh raksasa yang dikenal angkara murka, berwatak candala dan gemar
menumpahkan darah. Dasamuka lahir dari ayah seorang Begawan sepuh sakti linuwih
gentur tapanya serta luas pengetahuannya yang bernama Wisrawa dan ibu Dewi
Sukesi yang berparas jelita tiada bandingannya dan cerdas haus ilmu kesejatian
hidup. Bagaimana mungkin dua manusia sempurna melahirkan raksasa buruk rupa dan
angkara murka ? Bagaimana mungkin kelahiran ” sang angkara murka ” justru
berangkat dari niat tulus mempelajari ilmu kebajikan yang disebut Serat
Sastrajendra.
Ilmu untuk Meraih Sifat
Luhur Manusia.
Salah satu ilmu rahasia
para dewata mengenai kehidupan di dunia adalah Serat Sastrajendra. Secara
lengkap disebut Serat Sastrajendrahayuningrat Pangruwatingdiyu. Serat = ajaran,
Sastrajendra = Ilmu mengenai raja. Hayuningrat = Kedamaian. Pangruwating =
Memuliakan atau merubah menjadi baik. Diyu = raksasa atau keburukan. Raja
disini bukan harfiah raja melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia
mampu menguasai hawa nafsu dan pancainderanya dari kejahatan. Seorang raja
harus mampu menolak atau merubah keburukan menjadi kebaikan. Pengertiannya
bahwa Serat Sastrajendra adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus
dimiliki manusia untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan dunia akhirat. Ilmu
Sastrajendra adalah ilmu makrifat yang menekankan sifat amar ma’ruf nahi
munkar, sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan rakyat.
Gambaran ilmu ini adalah
mampu merubah raksasa menjadi manusia. Dalam pewayangan, raksasa digambarkan
sebagai mahluk yang tidak sesempurna manusia. Misal kisah prabu Salya yang malu
karena memiliki ayah mertua seorang raksasa. Raden Sumantri atau dikenal dengan
nama Patih Suwanda memiliki adik raksasa bajang bernama Sukrasana. Dewi Arimbi,
istri Werkudara harus dirias sedemikian rupa oleh Dewi Kunti agar Werkudara mau
menerima menjadi isterinya. Betari Uma disumpah menjadi raksesi oleh Betara
Guru saat menolak melakukan perbuatan kurang sopan dengan Dewi Uma pada waktu
yang tidak tepat. Anak hasil hubungan Betari Uma dengan Betara Guru lahir
sebagai raksasa sakti mandra guna dengan nama ” Betara Kala ” (kala berarti
keburukan atau kejahatan). Sedangkan Betari Uma kemudian bergelar Betari Durga
menjadi pengayom kejahatan dan kenistaan di muka bumi memiliki tempat
tersendiri yang disebut ” Kayangan Setragandamayit “. Wujud Betari Durga adalah
raseksi yang memiliki taring dan gemar membantu terwujudnya kejahatan.
Melalui ilmu Sastrajendra
maka simbol sifat sifat keburukan raksasa yang masih dimiliki manusia akan
menjadi dirubah menjadi sifat sifat manusia yang berbudi luhur. Karena melalui
sifat manusia ini kesempurnaan akal budi dan daya keruhanian mahluk ciptaan
Tuhan diwujudkan. Dalam kitab suci disebutkan bahwa manusia adalah ciptaan
paling sempurna. Bahkan ada disebutkan, Tuhan menciptakan manusia berdasar
gambaran dzat-Nya. Filosof Timur Tengah Al Ghazali menyebutkan bahwa manusia
seperti Tuhan kecil sehingga Tuhan sendiri memerintahkan para malaikat untuk
bersujud. Sekalipun manusia terbuat dari dzat hara berbeda dengan jin atau
malaikat yang diciptakan dari unsur api dan cahaya. Namun manusia memiliki
sifat sifat yang mampu menjadi ” khalifah ” (wakil Tuhan di dunia).
Namun ilmu ini oleh para
dewata hanya dipercayakan kepada Wisrawa seorang satria berwatak wiku yang
tergolong kaum cerdik pandai dan sakti mandraguna untuk mendapat anugerah
rahasia Serat Sastrajendrahayuningrat Diyu.
Ketekunan, ketulusan dan
kesabaran Begawan Wisrawa menarik perhatian dewata sehingga memberikan amanah
untuk menyebarkan manfaat ajaran tersebut. Sifat ketekunan Wisrawa, keihlasan,
kemampuan membaca makna di balik sesuatu yang lahir dan kegemaran berbagi ilmu.
Sebelum ” madeg pandita ” ( menjadi wiku ) Wisrawa telah lengser keprabon
menyerahkan tahta kerajaaan kepada sang putra Prabu Danaraja. Sejak itu sang
wiku gemar bertapa mengurai kebijaksanaan dan memperbanyak ibadah menahan nafsu
duniawi untuk memperoleh kelezatan ukhrawi nantinya. Kebiasaan ini membuat sang
wiku tidak saja dicintai sesama namun juga para dewata.
Sifat Manusia Terpilih.
Sebelum memutuskan siapa
manusia yang berhak menerima anugerah Sastra Jendra, para dewata bertanya pada
sang Betara Guru. ” Duh, sang Betara agung, siapa yang akan menerima Sastra
Jendra, kalau boleh kami mengetahuinya. “
Bethara guru menjawab ”
Pilihanku adalah anak kita Wisrawa “. Serentak para dewata bertanya ” Apakah
paduka tidak mengetahui akan terjadi bencana bila diserahkan pada manusia yang
tidak mampu mengendalikannya. Bukankah sudah banyak kejadian yang bisa menjadi
pelajaran bagi kita semua”
Kemudian sebagian dewata
berkata ” Kenapa tidak diturunkan kepada kita saja yang lebih mulia dibanding
manusia “.
Seolah menegur para dewata
sang Betara Guru menjawab “Hee para dewata, akupun mengetahui hal itu, namun
sudah menjadi takdir Tuhan Yang Maha Kuasa bahwa ilmu rahasia hidup justru
diserahkan pada manusia. Bukankah tertulis dalam kitab suci, bahwa malaikat
mempertanyakan pada Tuhan mengapa manusia yang dijadikan khalifah padahal
mereka ini suka menumpahkan darah”. Serentak para dewata menunduk malu ” Paduka
lebih mengetahui apa yang tidak kami ketahui”
Kemudian, Betara Guru turun
ke mayapada didampingi Betara Narada memberikan Serat Sastra Jendra kepada
Begawan Wisrawa.
” Duh anak Begawan Wisrawa,
ketahuilah bahwa para dewata memutuskan memberi amanah Serat Sastra Jendra
kepadamu untuk diajarkan kepada umat manusia”
Mendengar hal itu,
menangislah Sang Begawan ” Ampun, sang Betara agung, bagaimana mungkin saya
yang hina dan lemah ini mampu menerima anugerah ini “.
Betara Narada mengatakan ”
Anak Begawan Wisrawa, sifat ilmu ada 2 (dua). Pertama, harus diamalkan dengan
niat tulus. Kedua, ilmu memiliki sifat menjaga dan menjunjung martabat manusia.
Ketiga, jangan melihat baik buruk penampilan semata karena terkadang yang baik
nampak buruk dan yang buruk kelihatan sebagai sesuatu yang baik. ” Selesai
menurunkan ilmu tersebut, kedua dewata kembali ke kayangan.
Setelah menerima anugerah
Sastrajendra maka sejak saat itu berbondong bondong seluruh satria, pendeta,
cerdik pandai mendatangi beliau untuk minta diberi wejangan ajaran tersebut.
Mereka berebut mendatangi pertapaan Begawan Wisrawa melamar menjadi cantrik
untuk mendapat sedikit ilmu Sastra Jendra. Tidak sedikit yang pulang dengan
kecewa karena tidak mampu memperoleh ajaran yang tidak sembarang orang mampu
menerimanya. Para wiku, sarjana, satria harus menerima kenyataan bahwa hanya
orang orang yang siap dan terpilih mampu menerima ajarannya.
Nun jauh, negeri Ngalengka
yang separuh rakyatnya terdiri manusia dan separuh lainnya berwujud raksasa.
Negeri ini dipimpin Prabu Sumali yang berwujud raksasa dibantu iparnya seorang
raksasa yang bernama Jambumangli. Sang Prabu yang beranjak sepuh, bermuram
durja karena belum mendapatkan calon pendamping bagi anaknya, Dewi Sukesi. Sang
Dewi hanya mau menikah dengan orang yang mampu menguraikan teka teki kehidupan
yang diajukan kepada siapa saja yang mau melamarnya. Sebelumnya harus mampu
mengalahkan pamannya yaitu Jambumangli. Beribu ribu raja, wiku dan satria
menuju Ngalengka untuk mengadu nasib melamar sang jelita namun mereka pulang
tanpa hasil. Tidak satupun mampu menjawab pertanyaan sang dewi. Berita inipun
sampailah ke negeri Lokapala, sang Prabu Danaraja sedang masgul hatinya karena
hingga kini belum menemukan pendamping hati. Hingga akhirnya sang Ayahanda,
Begawan Wisrawa berkenan menjadi jago untuk memenuhi tantangan puteri
Ngalengka.
Pertemuan Dua Anak Manusia.
Berangkatlah Begawan
Wisrawa ke Ngalengka, hingga kemudian bertemu dengan dewi Suksesi. Senapati
Jambumangli bukan lawan sebanding Begawan Wisrawa, dalam beberapa waktu raksasa
yang menjadi jago Ngalengka dapat dikalahkan. Tapi hal ini tidak berarti
kemenanmgan berada di tangan. Kemudian tibalah sang Begawan harus menjawab
pertanyaan sang Dewi. Dengan mudah sang Begawan menjawab pertanyaan demi
pertanyaan hingga akhirnya, sampailah sang dewi menanyakan rahasia Serat
Sastrajendra. Sang Begawan pada mulanya tidak bersedia karena ilmu ini harus
dengan laku tanpa ” perbuatan ” sia sialah pemahaman yang ada. Namun sang Dewi
tetap bersikeras untuk mempelajari ilmu tersebut, toh nantinya akan menjadi
menantunya.
Luluh hati sang Begawan,
beliau mensyaratkan bahwa ilmu ini harus dijiwai dengan niat luhur. Keduanya
kemudian menjadi guru dan murid, antara yangf mengajar dan yang diajar. Hari
demi hari berlalu keduanya saling berinteraksi memahamkan hakikat ilmu.
Sementara di kayangan, para dewata melihat peristiwa di mayapada. ” Hee, para
dewata, bukankah Wisrawa sudah pernah diberitahu untuk tidak mengajarkan ilmu
tersebut pada sembarang orang “.
Para dewata melaporkan hal
tersebut kepada sang Betara Guru. ” Bila apa yang dilakukan Wisrawa, bisa nanti
kayangan akan terbalik, manusia akan menguasai kita, karena telah sempurna
ilmunya, sedangkan kita belum sempat dan mampu mempelajarinya “.
Sang Betara Guru merenungkan
kebenaran peringatan para dewata tersebut. ” tidak cukup untuk mempelajari ilmu
tanpa laku, Serat Sastrajendra dipagari sifat sifat kemanusiaan, kalau mampu
mengatasi sifat sifat kemanusiaan baru dapat mencapai derajat para dewa. ”
Tidak lama sang Betara menitahkan untuk memanggil Dewi Uma.untuk bersama
menguji ketangguhan sang Begawan dan muridnya.
Hingga sesuatu ketika, sang
Dewi merasakan bahwa pria yang dihadapannya adalah calon pendamping yang
ditunggu tunggu. Biar beda usia namun cinta telah merasuk dalam jiwa sang Dewi
hingga kemudian terjadi peristiwa yang biasa terjadi layaknya pertemuan pria
dengan wanita. Keduanya bersatu dalam lautan asmara dimabukkan rasa sejiwa
melupakan hakikat ilmu, guru, murid dan adab susila. Hamillah sang Dewi dari hasil
perbuatan asmara dengan sang Begawan. Mengetahui Dewi Sukesi hamil, murkalah
sang Prabu Sumali namun tiada daya. Takdir telah terjadi, tidak dapat dirubah
maka jadilah sang Prabu menerima menantu yang tidak jauh berbeda usianya.
Tergelincir Dalam Kesesatan.
Musibah pertama, terjadi
ketika sang senapati Jambumangli yang malu akan kejadian tersebut mengamuk
menantang sang Begawan. Raksasa jambumangli tidak rela tahta Ngalengka harus
diteruskan oleh keturunan sang Begawan dengan cara yang nista. Bukan raksasa dimuliakan
atau diruwat menjadi manusia. Namun Senapati Jambumangli bukan tandingan,
akhirnya tewas ditangan Wisrawa. Sebelum meninggal, sang senapati sempat
berujar bahwa besok anaknya akan ada yang mengalami nasib sepertinya ditewaskan
seorang kesatria.
Musibah kedua, Prabu
Danaraja menggelar pasukan ke Ngalengka untuk menghukum perbuatan nista
ayahnya. Perang besar terjadi, empat puluh hari empat puluh malam berlangsung
sebelum keduanya berhadapan. Keduanya berurai air mata, harus bertarung
menegakkan harga diri masing masing. Namun kemudian Betara Narada turun melerai
dan menasehati sang Danaraja. Kelak Danaraja yang tidak dapat menahan diri,
harus menerima akibatnya ketika Dasamuka saudara tirinya menyerang Lokapala.
Musibah ketiga, sang Dewi
Sukesi melahirkan darah segunung keluar dari rahimnya kemudian dinamakan
Rahwana (darah segunung). Menyertai kelahiran pertama maka keluarlah wujud kuku
yang menjadi raksasi yang dikenal dengan nama Sarpakenaka. Sarpakenaka adalah
lambang wanita yang tidak puas dan berjiwa angkara, mampu berubah wujud menjadi
wanita rupawan tapi sebenarnya raksesi yang bertaring. Kedua pasangan ini terus
bermuram durja menghadapi musibah yang tiada henti, sehingga setiap hari
keduanya melakukan tapa brata dengan menebus kesalahan. Kemudian sang Dewi
hamil kembali melahirkan raksasa kembali. Sekalipun masih berwujud raksasa
namun berbudi luhur yaitu Kumbakarna.
Akhir Yang Tercerahkan.
Musibah demi musibah terus
berlalu, keduanya tidak putus putus memanjatkan puaj dan puji ke hadlirat Tuhan
yang Maha Kuasa. Kesabaran dan ketulusan telah menjiwa dalam hati kedua insan
ini. Serat Sastrajendra sedikit demi sedikit mulai terkuak dalam hati hati yang
telah disinari kebenaran ilahi. Hingga kemudian sang Dewi melahirkan terkahir
kalinya bayi berwujud manusia yang kemudian diberi nama Gunawan Wibisana.
Satria inilah yang akhirnya mampu menegakkan kebenaran di bumi Ngalengka
sekalipun harus disingkirkan oleh saudaranya sendiri, dicela sebagai penghianat
negeri, tetapi sesungguhnya sang Gunawan Wibisana yang sesungguhnya yang
menyelamatkan negeri Ngalengka. Gunawan Wibisana menjadi simbol kebenaran
mutiara yang tersimpan dalam Lumpur namun tetap bersinar kemuliaannya. Tanda
kebenaran yang tidak larut dalam lautan keangkaramurkaan serta mampu mengalahkan
keragu raguan seprti terjadi pada Kumbakarna. Dalam cerita pewayangan,
Kumbakarna dianggap tidak bisa langsung masuk suargaloka karena dianggap ragu
ragu membela kebenaran.
Melalui Gunawan Wibisana,
bumi Ngalengka tersinari cahaya ilahi yang dibawa Ramawijaya dengan balatentara
jelatanya yaitu pasukan wanara (kera). Peperangan dalam Ramayana bukan
perebutan wanita berwujud cinta namun pertempuran demi pertempuran menegakkan
kesetiaan pada kebenaran yang sejati
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.